Senin, 04 Februari 2008

WHO REALLY AM I ?






WHO REALLY AM I ?

SIAPAKAH SAYA SEBENARNYA ?

WHO REALLY AM I ?

Too many of us overvalue what we are not and undervalue what we are

Terlalu banyak kita meninggikan yang bukan kita dan merendahkan siapa kita sebenarnya.

Siapakah saya? Seingat saya,pertanyaan ini telah muncul sejak saya sekolah dasar. Memasuki masa remaja pertanyaan ini bergema lebih kuat lagi. Sampai menjadi pemuda pertanyaan ini lebih keras lagi menghantui saya. Pertanyaan ini lebih gencar lagi menerpa ketika saya setiap hari harus berhadapan dengan maut dan kematian pasien di Rumah Sakit Umum Medan selama tiga tahun praktek sebagai mahasiswa kedokteran. Siapakah saya? Darimana saya datang ? Kenapa saya ada disini ? Apa tujuan hidup ini ? Apa yang terjadi setelah kematian? Setelah menjadi dokter empat tahun, menikah, menjadi suami, kemudian menjadi bapa dari dua orang anak pertanyaan tersebut berlanjut terus. Saat ini saya telah melewati usia 40 tahun dan masih juga bertanya: Siapakah saya sebenarnya ? Sepertinya ini sebuah pertanyaan yang sederhana saja, yang membutuhkan jawaban yang sederhana pula. Saya telah lama mendengar dan percaya bahwa kebenaran yang besar sebenarnya sederhana. Bahwa semua kebenaran adalah paralel. Sebenarnya pertanyaan ini sangat sederhana. Hampir setiap hari saya menanyakan pertanyaan ini kepada orang-orang yang datang ke Rumah Sakit Jiwa Pontianak. Siapakah anda ? Jawaban terhadap pertanyaan ini ternyata tidak sederhana.

Misalnya, jika seorang bertanya kepada saya, “Siapakah anda?” Saya mungkin menjawab,” Bumbunan Sitorus.” “Bukan itu nama anda. Siapakah anda?” “Oh, saya dokter.” “ Bukan, itu profesi anda.”

Saya seorang kepala bidamg.” “Bukan itu jabatan anda.” “Saya orang batak. “ “ Itu suku anda” “Saya orang Medan, saya orang Indonesia. ” “Itu kota dan negara tempat lahir atau tinggal anda” Saya orang Charismatik. ” Itu denominasi pilihan anda.”

PERAN

Kebanyakan di antara kita punya peran atau cerita. Apa itu peran? Kita menyematkan nama, gelar atau attribut pada diri sendiri, misalnya “ Saya mahasiswa,” “Saya pengusaha,” “ Saya kakek,” Peran atau cerita kita seperti progran software, menempel di telinga sekaligus mengontrol hidup kita. Peran merupakan paket pemasaran pribadi. Kita bawa kemana-mana, kekantor, atau ketika berlibur.

Ketika pesta, kitapun bercerita,” Saya pendeta,” saya melayani digereja anu. Kita selalu mencoba menyesuaikan diri dengan cerita kita; membeli mobil dan baju ataupun memilih teman. Saya seorang dokter. Saya harus bersikap dan bebicara sebagai dokter. Saya perlu rumah di tempat yang sesuai dengan professi dokter saya, mobil dan hobby yang cocok bagi seorang dokter. Itulah peran dan cerita yang saya lakoni.

Mencoba menyesuaikan diri dengan peran sebenarnya membuat sengsara. Jika cerita saya adalah “ Saya walikota,” ketika tidak lagi menjadi walikota, jadi apa saya? Saya tidak tahu siapa saya. Kalau cerita saya “ Saya seorang ibu rumah tangga, saya tuan rumah yang baik, kok. Datanglah kerumah saya,” saya bisa sengsara sendiri di rumah. Bagaimana kalau ikan yang saya goreng gosong ketika menjamu tamu. Hancurlah saya!

Kenyataannya…Kalau kamu tidak bisa seperti ceritamu, tak seorangpun sudi memperhatikanmu lagi. Jadi, tak perlu mengkategorikan diri. Kita manusia memiliki serangkaian pengalaman. Kalau kita berhenti bercerita, diri kita utuh.

Anda tahu tentang peran-peran berikut ini? “Saya orang penting – saya harus diperlakukan sepantasnya!” Beberapa orang bersikeras bahwa orang lain harus mengenal mereka, mengetahui betapa tinggi derajatnya. Ketika kamu menuntut agar dianggap penting oleh orang lain, kamu sebetulnya menderita karena kebahagiaanmu berada di tangan orang lain. Jangan lagi menganggap dirimu penting karena hanya akan menimbulkan stress. Tetapi sebaliknya jika dirimu kamu anggap tidak penting, kamu bisa bersantai. Semakin sedikit tuntutan atas apresiasi orang lain terhadap kita, semakin banyak yang kita peroleh.

Bertanyalah kepada diri sendiri: “Apa yang akan saya lakukan seandainya saya tidak punya peran?”

Keyakinan

Sebab seperti orang membuat perhitungan dalam dirinya sendiri demikianlah ia. (As you think so you are.) Sebagai mana engkau berpikir demikianlah engkau. Saya adalah seperti pikiran saya. Amsal 23:7

Ketika orang-orang menceritakan kekurangan diri mereka mengemukakan, “Saya orang yang tidak pernah…..(bepergian dengan pesawat terbang kelas utama, keluar negeri, juara, kepesta gala, kekaroke atau mandi di kolam renang dll).” Kalau kita berkata begitu, menandakan kita terkucil atau kurang pergaulan. Kita punya cerita lain, “Saya terlalu sensitif – apa saja membuat saya kesal.” Saya pria sejati.” “Saya seorang libra, jadi saya selalu…penuh pertimbangan” “Saya terlalu tua untuk…. Saya tidak bisa mengerjakan ini karena…. Alasan yang umum adalah ,…Ya, begitulah saya.” Yang sebenarnya adalah begitulah yang saya pikir tentang diri saya. Dst…dst….

Kita dapat belajar keyakinan dengan mengamati ikan. Eksperimen berikut ini diadakan oleh Woods Hole Oceanographic Institute. Bayangkan akuarium. Sekatlah akuarium itu menjadi dua bagian dengan kaca tembus pandang. Sekarang bayangkan kamu menjadi seekor ikan barracuda bernama Boy disatu sisinya.Di sisi sekat lain ada seekor ikan mullet, makanan barracuda. Karena lapar, dengan secepat kilat, Boy menerjan mullet, tetapi….. tentu saja yang dia terjang kaca. Boy memasang kuda-kuda lagi, dan lagi-lagi menabrak kaca. Selama beberapa minggu, hidung Boy terasa nyeri. Akhirnya dia sadar mullet juga bisa menyakiti sehingga tak mau lagi memangsanya. Masih dalam bayanganmu, lepaskan sekat kaca itu. Apa yang terjadi? Boy tetap tak mau memangsa mullet. Dia lebih senang mati kelaparan. Mullet juga menjaga jarak. Dia mengetahui kelemahan dirinya sehingga tak mau beranjak ke sisi akuarium tempat barracuda berenang-renang.

Dongeng konyolkah itu? Sebetulnya cerita tersebut juga cerita tentang manusia. Kita juga suka main terjang. Kita menentang orang – guru, orang tua, teman-teman. Yang terburuk, keyakinan pun kita terjang. Keyakinan, dianggap membatasi teritori kita. Kita tak pernah jadi yakin jadinya. Boy si barracuda berujar, “Saya dulu berhasil memangsanya, kok. Sekarang saya cuma ingin berenang saja.” Kitapun mengatakan hal yang sama, “Saya pernah sukses dalam studi, perkawinan, dan bekerja sebelum ini…” Kita menciptakan sangkar gelas sendiri, dan kita berpikir itu realitas. Padahal hanya keyakinan. Nah, bagaimana membuat orang-orang yakin? Mudah, cobalah berbincang-bincang tentang agama dan politik di pesta makan malam!

Suatu hari seekor katak sedang duduk di tepi sungai. Seekor kalajengking lewat, dan berkata kepadanya, “Pak Kodok, saya ingin menyeberangi sungai ini, tetapi saya tidak bisa berenang. Bisakah kamu menyeberangkankan saya?” Katak menjawab, “ Tapi kamu kalajengking.Kalajengking menyengat kodok, bukan?” Kala jengking menanggapi, “Kenapa saya harus menyengat kamu? Saya hanya ingin menyeberang.” “Baiklah,” kata si katak, “naiklah kepunggung saya.” Mereka pun menyeberang sungai. Baru setengah perjalanan, kala jengking menyengat juga. Di napas penghabisan, katak bertanya heran, “Kenapa kamu menyengat saya? Kita berdua akan tenggelam, lho!” “Karena saya kalajengking, maka saya menyengatmu,” PERHATIKAN KALA JENGKING ITU! Di dunia ini ada orang yng berani tenggelam asalkan kamu tenggelam juga – ya, seperti kala jengking dalam kisah di atas.

Kita semua memiliki keyakinan yang berbeda tentang dunia – dan kita yakin bahwa keyakinan kitalah yang paling benar. Lucu bukan? Padahal engkau boleh sungguh-sungguh yakin engkau benar ketika engkau sungguh-sungguh salah. (You can think you are sincerely right when you are sincerely wrong) Anda pernah dengar kisah lima orang buta dengan gajah. Enam orang buta dibawa oleh seorang yang baik hati kesebuah kebun binatang untuk dijamah oleh enam orang buta karena mata mereka adalah tangan mereka. Setelah bertemu dengan gajah, masing-masing orang buta dituntun untuk memegang satu bagian tubuh dari gajah kemudian segera mereka dijauhkan dari gajah tersebut. Inilah percakapan orang buta itu: Gajah itu seperti pohon, kata seorang buta yang memegang kakinya. Tidak, gajah itu seperti tali sanggah orang kedua yang memegang ekornya. Yang ketiga menjawab, dasar kalian buta gajah itu seperti dinding seru orang ketiga yang memegang dinding perutnya. Gajah itu seperti kipas, jawab orang buta keempat yang memegang telinganya. Tidak, gajah itu seperti pipa, kata orang buta kelima mempertahankan hasil perabaannya atas belalai gajah. Kelima orang buta itu berdebat dan bertengkar tentang gajah.

Yesus berkata orang buta memimpin orang buta keduanya jatuh kedalam parit. Saya menemukan banyak sekali pendeta, penginjil dan guru sekolah alkitab seperti orang buta tersebut dan saya adalah salah satu dari antaranya, sekarang juga saya masih memiliki titik buta (blind spot), tetapi saya mulai disadarkan akan kebutaan saya dan tidak terlalu mempertahankan pendapat dan keyakinan saya lagi. Kelima orang buta itu adalah gambaran semua manusia. Kata gajah dapat kita tukar dengan Tuhan atau Allah (Lord or GOD), maka orang yang beragama adalah orang buta tersebut. Semua orang beragama berpendapat agamanyalah yang benar. Kita selalu merasa benar.

Keyakinan menetukan kualitas hidup

Kita ambil contoh, saya yakin bahwa ayah saya seharusnya memuji dan menghadiahi anak-anaknya. Kalau tidak, saya sebagai anak merasa kesal. Kemudian saya ingin mengubah sikap ayah. Demikian juga, saya ingin mengubah sikap istri saya, bos saya dan teman saya. Dan yang paling hebat adalah saya ingin mengubah dunia ini. Kebanyakan kita tidak pernah mempertimbangkan solusi alternatif: Mengubah keyakinan kita. Misi hidup kita bukanlah mengubah dunia, melainkan mengubah diri.

Kita bertanya-tanya,” Tapi, bukankah orang lain juga meyakini?” Tidak! Ada orang yang tidak yakin ,kok, tetapi mereka justeru lebih baik. Beberapa tidak mengharapkan orang lain bersikap tertentu. Akibatnya, mereka lebih damai. Karena mereka bisa lebih menerima orang lain apa adanya. Untuk melihat segalanya secara berbada, kita tidak memerlukan tekat baja, kepercayaan diri yang kuat, atau operasi otak. Yang diperlukan hanya memikirkan yang tidak umum/familiar. Ketika kesal di waktu mendatang, ingat bahwa tidak banyak orang yang membuat kamu marah – sebagaimana keyakinanmu. Pikiran yang membuat kamu menderita toh hanyalah pikiran. Kita bisa mengubah pikiran itu, bukan? Inilah yang disebut metamorpose, bertobat, metanoia, mengubah pikiran, pembaharuan akal budi atau perubahan paradigma (paradigm shif)

AKU ADALAH AKU

Ketika aku sedang sedih menyesali masa lampauku dan memikirkan masa depan dengan penuh kecemasan Tuhan berfirman “ Nama-Ku adalah AKU ADA” Ia berhenti sejenak, akupun menanti……….Kemudian dengan suara lembut Ia melanjutkan: Bila hidupmu hanya memikirkan masa lampau dengan kesalahan-kesalahan dan penyesalan-penyesalan, semuanya itu tidak ada gunanya. Aku tidak ada di sana. “Nama-Ku bukan AKU DULU ADA.” Bila hidupmu hanya memikirkan masa depan dengan segala permasalahan yang tak menentu dan rasa takut, itupun sia-sia. Aku tidak ada di sana. “Nama-KU bukan AKU AKAN ADA.” Bila sekarang hidupmu memikirkan hal-hal yang terjadi hari ini dan percaya kepada-Ku, sungguh indah sekali, AKU ada disini “Nama-Ku adalah AKU ADA.”

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda